JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyampaikan bahwa proses uji klinis kombinasi obat COVID-19 temuan UNAIR yang bekerja sama dengan TNI-AD, POLRI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak valid.
Dilansir dari kompas, dalam konferensi pers virtual yang dilakukan oleh BPOM, Kepala BPOM, Penny Lukito, menyampaikan bahwa perlu perbaikan agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapatkan izin edar dari BPOM.
“Dalam status yang kami nilai adalah masih belum valid dikaitkan dengan hasil inspeksi kami,” ujar Penny.
Penny menyampaikan pihaknya melakukan inspeksi terhadap uji klinis dan mendapati belum terpenuhinya unsur pengacakan subjek uji klinis atau randomisasi.
“Subjek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut karena itu bagian dari randomisasi acaknya itu yang merepresentasikan validitas dari suatu riset,” tegas Penny.
Selain itu, Penny juga mengungkap bahwa uji klinis yang telah dilakukan tim gabungan tersebut ternyata melibatkan orang tanpa gejala untuk diberi terapi obat.
Kemudian, Penny juga melanjutkan bahwa hasil uji klinis obat COVID-19 tersebut tidak signifikan. Ini juga yang menjadikan dasar BPOM belum mengeluarkan izin edar.
“Suatu riset itu harus menunjukan bahwa sesuatu yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan, berbeda dibandingkan dengan terapi yang standard,” ucap Penny.
Penny pun kembali menyebutkan bahwa suatu riset harus lulus uji validitas dan dinyatakan valid. Baru kemudian BPOM dapat mengeluarkan izin edar yang berarti masyarakat luas dapat menggunakan obat tersebut sesuai dengan nilai manfaat dan keamanan obat.
Kecepatan dalam menemukan obat COVID-19 memang dibutuhkan saat ini, tetapi aspek validitas dalam uji klinis juga menjadi hal yang prioritas.
“Memang kita berusaha secepat mungkin, tapi aspek validitas itu menjadi hal yang paling prioritas,” tegas Penny.
(Baca Juga : Obat COVID-19 Temuan UNAIR : Daya Penyembuhan Hingga 98%)
KOMENTAR ANDA